Dul Mulok Tiang Balai Warisan Budaya yang Menghidupkan Ekonomi Kreatif Belitung

Kesenian tradisional Dul Mulok Tiang Balai yang berasal dari Desa Kembiri, Kecamatan Membalong, Belitung, memiliki sejarah panjang yang tak lepas dari sosok Tuk Jahe’. Beliau adalah tokoh yang membawa lima surat cerita atau syair, yakni Zubaidah, Abdul Mulok, Tajor Mulok, Dirgan Budiman, dan Sipal Mulok. Surat-surat syair ini menjadi dasar dari terbentuknya kesenian Dul Mulok yang masih lestari hingga kini. Cerita ini dihadirkan berdasarkan wawancara khusus dengan penerus pimpinan sanggar Dul Mulok Tiang Balai, Kik Sar’ie.

Tuk Jahe’ berperan besar dalam mengumpulkan masyarakat untuk menciptakan kesenian tersebut. Awalnya, kesenian ini dikenal dengan nama DKBA, singkatan dari Dul Mulok Kesenian Belantu Asli. Nama ini juga diberikan oleh Tuk Jahe’. Namun, cerita pertama yang dimainkan di Desa Kembiri adalah kisah Abdul Mulok, yang terinspirasi dari seorang pemuda bernama sama di masa lampau. Karena itulah, nama kesenian ini kemudian berubah menjadi Dul Mulok pada tahun 1982. Sejak saat itu, kesenian ini dikenal sebagai Dul Mulok Tiang Balai Desa Kembiri.

 

Gambar 1: menunjukkan media penyimpan arsip dokumenter seni pertunjukan teater Dul Mulok Gambar 2: Kik Sar’ie pimpinan Dul Mulok Tiang Balai Desa Kembiri, Membalong, Belitung

 

Sebelum perubahan nama menjadi Dul Mulok Tiang Balai, semua peran dalam DKBA dimainkan oleh laki-laki. Namun, Kik Sar’ie, seorang pelaku sekaligus pemimpin kesenian Dul Mulok sejak 1982 hingga 2017, menceritakan bahwa kesenian ini kemudian mulai melibatkan wanita untuk memerankan berbagai tokoh. Hal ini dilakukan agar penceritaan dalam Dul Mulok lebih utuh dan relevan. Dul Mulok bukan sekadar pagelaran seni, melainkan representasi budaya dan keseharian masyarakat Belitung. Pertunjukan dimulai dengan nyanyian berbalas pantun, tarian, serta dialog antara peran-peran seperti raja, menteri, dan rakyat. Gaya penceritaannya khas, menggunakan bahasa Melayu Belitung yang dipadukan dengan pantun berbalas. Para pemeran duduk di bangku di atas panggung, seperti orang berkelakar sambil menghidupkan suasana cerita.

Kesenian ini biasanya membutuhkan pemain sebanyak 18 hingga 20 orang. Tema ceritanya pun beragam, mulai dari sejarah, kehidupan sehari-hari, hingga kerajaan. Seiring perkembangan zaman, Dul Mulok juga menghadirkan inovasi dengan cerita-cerita kekinian yang relevan dengan situasi modern. Kik Sar’ie, yang telah mengenal Dul Mulok sejak masih bernama DKBA saat ia duduk di bangku sekolah dasar, menyimpan harapan besar agar kesenian ini terus beregenerasi.

 

 

Menurutnya, menjaga warisan budaya seperti Dul Mulok tidaklah mudah tanpa minat dari generasi muda. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk terus melibatkan generasi penerus dalam melestarikan kesenian ini.

Sebagai bentuk pengakuan, pada tahun 2014, kesenian Dul Mulok Tiang Balai Kembiri telah dicatat dan diinventarisasi sebagai kekayaan intelektual komunal ekspresi budaya tradisional oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Desa Kembiri, sekaligus pengingat bahwa Dul Mulok adalah aset budaya yang harus dijaga dan diwariskan. Dul Mulok Tiang Balai bukan hanya kesenian, melainkan cerminan identitas masyarakat Belitung yang sarat nilai sejarah, kreativitas, dan kebersamaan. Dengan usaha bersama, semoga kesenian ini terus hidup di tengah zaman yang terus berubah. (Angela Agnestiana)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *